top of page

Gurih Bukan Cuma Umami apalagi Savory

Perayaan Grebeg Sekaten benar-benar gembrebeg, alias bising. Ribuan orang tumpah ruah di alun-alun utara. Di sudut, terlihat orang duduk lesehan di sekeliling penjual sego gurih (nasi gurih), hidangan khas Jogja untuk merayakan Maulud Nabi. Nasi yang dimasak dengan santan kental dan beraneka bumbu itu benar-benar gurih dan lezat. Apalagi permukaannya ditaburi kedelai hitam, tempe, sambel goreng krecek, dan suwiran ayam yang diopor hingga kuahnya sangat sangat kental. Buat orang Jawa, sego gurih bukan cuma pengisi perut, tetapi ia adalah lambang berkat dan kemakmuran. Di Jawa, sego gurih telah menjadi bagian dari tradisi pemujaan terhadap Sang Pemberi Rahmat.

***

Selama puluhan tahun, ilmuwan barat dan Jepang terus berseteru soal cita rasa yang disebut umami. Di barat, cita rasa itu hanya ada manis, asin, pahit dan asam. Yang mereka sebut savory itu mengacu pada cita rasa asin yang lembut, tidak setajam garam dapur, misalnya rasa asin pada keju, ham, dan salami. Baru pada tahun 1908, Kikunae Ikeda menggebrak dunia dengan istilah cita rasa baru, yaitu umami.

Umami adalah cita rasa yang sudah berabad-abad dikenal masyarakat Jepang. Umami adalah rasa lezat yang didapat dari kecap asin, atau ekstrak rumput laut. Di kemudian hari diketahui bahwa rasa umami ini berkaitan dengan adanya asam amino L-glutamate serta ribonukleotida, inosine dan guanosine monophosphate (GM). Menurut Li dalam American Journal of Clinical Nutrition (2009), di permukaan lidah, senyawa-senyawa ini dideteksi oleh reseptor T1R, sinyalnya dikirimkan ke otak, diproses, lalu dideskripsikan sebagai rasa umami. Cita rasa alami yang sebenarnya kompleks ini kemudian disederhanakan dan difabrikasi dalam bentuk kristal-kristal monosodium glutamate (MSG).

Tetapi, rasa gurih kita? Wow… mana mungkin diringkas seperti itu? Gurih Indonesia adalah perpaduan dari ratusan ribu senyawa yang berdansa bersama di permukaan lidah. Gurih kita jelas tidak sesederhana umami, apalagi savory. Hidangan sego gurih tadi misalnya. Berasnya saja diaron dengan santan, garam, bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, salam, dan serai. Belum lagi lauk pauk yang lain.

Rasa gurih Indonesia, bukan hanya meningkatkan selera makan, tetapi ia juga bagaikan peri pembisik yang membantu kita menemukan sumber-sumber protein. Rasa gurih bisa ditemukan pada daging, ikan, telur, susu, sampai sumber protein lokal yang relative murah, misalnya: kelapa dalam segala bentuk olahannya, tahu, tempe, beraneka ragam jamur, sampai hewan-hewan unik seperti belut, belalang, ulat pohon jati, ulat sagu, bekicot, tutut (sejenis keong kecil), yuyu (kepiting air tawar yang hidup di sawah), dan laron (serangga yang hadir mengerumuni lampu setelah hujan lebat). Pengetahuan anak-anak desa zaman dahulu untuk berburu rasa gurih dengan menyantap hewan-hewan kecil di hutan dan sawah, secara tak sadar telah membantu mereka memenuhi kebutuhan gizi protein, mengendalikan populasi hama yang menyerang tanaman pangan mereka, sambil melindungi lingkungan dari penggunaan pestisida sintetis.

Selain protein, tentu saja bumbu dan rempah-rempah adalah sasaran peri gurih berikutnya. Dengan memasukkan beraneka bawang-bawangan, daun bawang, seledri, kemiri, kenari, biji wijen, ketumbar, daun salam, serai, pandan, ebi, terasi, petis, kluwak (biji picung), poyah (kelapa sangrai yang di tumbuk), siapa lagi yang perlu bumbu sintetis? Bumbu dan rempah asli Indonesia ini bukan cuma sangat kaya cita rasa, tetapi juga memiliki beraneka manfaat bagi kesehatan. Bawang merah dan bawang putih yang biasa kita gunakan dalam jumlah banyak, keduanya bisa membantu mencegah penyakit degenerative, seperti diabetes, hipertensi, jantung koroner, serta kanker.

Rasa gurih nan lezat juga bisa kita dapatkan dari beraneka kacang-kacangan dan biji-bijian misalnya biji bunga matahari, biji wijen, biji jambu mete, biji nangka, dan biji cempedak. Biji-bijian ini selain lezat, juga bermanfaat sebagai pengganjal mata yang cukup sehat ketika jam di kantor mendekati angka tiga. Caranya? Disangrai, dipanggang, atau direbus dulu, lalu perlahan-lahan dimasukkan ke mulut. Bukan ke mata ya!

Berbeda dengan di negara-negara Barat dan Jepang, persepsi kita tentang gurih, juga tidak selalu berkaitan dengan rasa asin. Bagi orang Indonesia, santan itu gurih, meskipun ia dibuat dodol yang manis. Mungkin juga cuma Indonesia yang memiliki buah mangga dengan cita rasa gurih. Di Semarang, mangga jenis ini dikenal dengan pelem pohgurih. Ukurannya kecil, kulitnya berwarna hijau, dagingnya berwarna kuning pucat. Paling pas jika disantap ketika masih agak mengkal. Hebatnya lagi, meskipun tidak berbakat memilih mangga, anda tidak akan pernah menemukan mangga pohgurih yang berasa asam. Mangga jenis ini rasanya cuma manis dan gurih, sehingga dijamin setelah menggigitnya anda akan tersenyum manis, bukan tersenyum kecut.

Selain buah, bisa jadi cuma kita juga yang memiliki daun dengan cita rasa gurih. Namanya daun poh-pohan (Pilea Trinervia Wight.). Daun ini banyak terdapat di wilayah Bogor. Biasa dimakan segar sebagai lalap. Ia memiliki aroma wangi yang khas. Setelah dikunyah, dan ditelan, baru gurihnya terasa. Daun poh-pohan ini memiliki khasiat sebagai antioksidan.

Daun gurih yang lain adalah simbukan (Paederia tomentose), alias daun kentut. Daun kentut dahulu banyak terdapat di desa-desa di Jawa Tengah. Ketika masih mentah, dan baru saja dipetik, baunya memang mirip kentut. Tetapi setelah dimasak, misalnya menjadi buntil, bau kentutnya akan menghilang, berganti menjadi rasa gurih yang lezat.

Lauk-pauk berbau lainnya, yang sering kita identikkan dengan gurih adalah petai, petai cina, serta jengkol. Sayang, saking eksotisnya benda-benda ini, belum banyak penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mempelajari khasiatnya. Namun orang-orang tua di desa mengatakan bahwa petai cina yang biasa digado anak-anak sambil bermain di kebun, bisa mengobati cacingan. Hal ini mungkin ada benarnya.

Negeri ini memang sangat kaya dengan beraneka bahan pangan alami yang gurih dan menyehatkan, jadi PD lah hidup hanya dengan bahan-bahan alami dan sehat yang kita petik dari alam sendiri.

Daisy Irawan. Tulisan ini pernah dimuat di majalah U-mag, terbitan Tempo Media

Seva Saraswati
Other Posts
Follow Me
Search By Tags

Seva Saraswati adalah nama yayasan yang saya dirikan pada tahun 2000, bersama dua orang teman.  Lembaga ini dorman ketika saya menempuh studi lanjut di Australia dan Jerman. Saat ini saya ingin mencoba menghidupkan kembali cita-cita Seva Saraswati.  Semoga laman ini bisa menjadi sarana berbagi informasi mengenai pangan yang sehat, adil, dan ramah lingkungan.  Daisy Irawan, pendiri serta koordinator Seva Saraswati.

 

bottom of page